Seorang
mahasiswi bunga (bukan nama sebenanrnya), pada suatu kesempatan saya
berbincang-bincang dengannya mengenai kehidupan pribadinya.
Dia berbagi pengalaman tentang hubungannya dengan seorang
laki-laki. Dia mengaku dulu laki-laki itu menembaknya atau mengatakan
cinta padanya, sebut saja nama laki-laki itu X. Hubungannya dengan X berjalan
mulus. Bunga dan X membuat kesepakatan dalam hubungan mereka, bunga membuat
aturan tertentu untuk X, X pun demikian juga. Dan mereka sama – sama
menyepakati apa yang mejadi keinginan keduanya.
Dalam setiap hubungan pastilah selalu ada masalah. Demikian juga
dengan hubungan X dan bunga. Mereka sering mengalami perbedaan pendapat dan
salah paham. Dalam hal itu si bunga cenderung lebih marah-marah, entah dia yang
salah atau pun X yang salah. Dan X cenderung minta maaf lebih dulu, bunga
enggan minta maaf, dia mengaku “jaim” kalau harus minta maaf dulu.
Walaupun seperti itu X selalu telaten dan sabar dengan sikap bunga yang keras
kepala dan egois. Ketika jalan-jalan mereka bergantian mentraktir satu sama
lain. Menurut bunga, sebenarnya X ingin dia saja yang mentraktir karena dia
laki-laki sudah sewajarnya seperti itu, tapi tak demikian menurut bunga, bunga
ingin juga sekali-kali mentraktir karena dia sungkan, jaim, dan tak mau
dikatakan sebagai cewek yang selalu bergantung pada laki-laki, ataupun
dikatakan cewek matre.
X tipe cowok yang sabar, itu pengakuan bunga. Hampir semua keinginan
bunga dituruti oleh X. Bahkan saat libur X lebih memilih meluangkan waktu
dengan bunga daripada dengan keluarganya jika bunga meminta untuk bertemu. X
selalu mengedepankan bunga daripada apapun. Menurut Bunga, X sangat menyayanginya dan dia
selalu mengatakan ingin menjadi pendamping hidupnya kelak. Tak pernah ada
kekerasan dalam hubungan mereka. Kalau kata-kata kasar iya, tapi itu hal wajar
menurut bunga.