Minggu, 27 Oktober 2013

PEREMPUAN SEBAGAI IMAM SHALAT

PEREMPUAN SEBAGAI IMAM SHALAT

Perempuan menjadi imam shalat...???
Apakah perempuan bisa menjadi imam shalat bagi kaum laki-laki...???
Ataukah hanya bisa menjadi imam bagi sesama perempuan saja...???
Inilah salah satu hal penting yang menimbulkan perdebatan, terutama bagi kalangan pejuang kesetaraan gender. Seperti yang telah kita ketahui bersama, sholat merupakan ibadah wajib bagi umat Islam untuk dilaksanakan dan termasuk kedalam salah satu bagian dari rukun Islam. Dalam melaksanakan shalat tentu harus memperhatikan beberapa hal penting guna untuk menjaga sahnya shalat dan fadilahnya shalat. Perihal sahnya shalat maka haruslah terpenuhi syarat dan rukun shalat. Sedangkan dalam hal fadilah shalat maka haruslah memperhatikan beberapa hal, misal shalat dengan berjamaah, shalat dengan khusyu’ dan tuma’ninah dan lain sebagainya.
Yang juga sangat penting untuk kita cermati bersama adalah masalah imam dalam shalat berjamaah. Seseorang yang menjadi imam dalam shalat haruslah orang yang mampu dan mengerti tentang tata cara menjadi imam dalam shalat. Contoh kecil saja, seorang imam diharuskan bisa membaca ayat-ayat Al-Qur’an serta bacaan-bacaan dalam shalat dengan benar. Itu adalah kemampuan mendasar yang harus dimiliki seseorang apabila ingin menjadi imam dalam shalat berjamaah. Apabila hal tersebut belum terpenuhi maka seseorang itu hendaknya menjadi makmum saja, karena nanti ditakutkan apabila menjadi imam maka akan mengurangi keabshahan serta mengurangi fadilah shalat.
Imam dalam shalat berjama’ah lazimnya adalah seorang laki-laki. Karena laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan, yang artinya laki-laki mempunyai tanggung jawab untuk memimpin perempuan dalam hal kebaikan, salah satunya dengan menjadi imam shalat bagi perempuan. Firman Allah dalam surat An-Nisaa’ ayat 34 :
 “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita)....” (QS. An-Nisaa’ : 34).

Kontroversi perihal perempuan bisa menjadi imam shalat, khususnya menjadi imam bagi laki-laki memang menimbulkan perdebatan. Ada beberapa pihak yang menentang hal itu, namun ada juga pihak-pihak yang mendukung dibolehkanya perempuan menjadi imam shalat bagi laki-laki, dengan alasan dan argumentasi bahwa apabila si laki-laki tidak begitu paham masalah agama, dan apabila si perempuan lebih pandai, lebih mampu, dan juga lebih berkompeten dari pada laki-laki untuk menjadi imam, maka hal itu boleh-boleh saja. Perdebatan ini terus bergulir dan semakin alot. Untuk menjawab kontroversi ini, Majelis Ulama’ Indonesia (MUI) turun tangan dan mengambil sikap serta menetapkan fatwa terkait dengan masalah perempuan menjadi imam shalat (bagi kaum laki-laki).
 Dalam Musyawarah Nasional (Munas) MUI VII, pada 19-22 Jumadil Akhir 1426 H/26-29 Juli 2005 M, MUI menetapkan Fatwa Nomor: 9/MUNAS VII/MUI/13/2005 Tentang Wanita Menjadi Imam Shalat. Hal ini perlu dilakukan untuk menjawab perdebatan tersebut serta untuk memberikan kepastian hukum dalam syari’at Islam tentang hukum wanita menjadi imam shalat, agar dapat dijadikan pedoman bagi umat Islam.
Dalam menetapkan fatwanya, MUI mendasarkan pada Al-Qur’an, hadist, ijma’, dan kaidah-kaidah fiqh.
1.      Firman Allah SWT dalam surat An-Nisaa’ ayat 34
“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita)....” (QS. An-Nisaa’ : 34).

2.      Hadist Rasulullah SAW
"Rasulullah memerintahkan Ummu Waraqah untuk menjadi imam bagi penghuni rumahnya." (HR Abu Dawud dan Al-Hakim).
Rasulullah bersabda, “Janganlah seorang perempuan menjadi imam bagi laki-laki.” (HR Ibnu Majah).
Rasulullah bersabda, “(Melaksanakan) shalat yang paling baik bagi perempuan adalah di dalam kamar rumahnya.” (HR Bukhari).
3.      Ijma’ para ulama’
Para sahabat tidak pernah ada seorang perempuan yang menjadi imam shalat yang diantara makmumnya ada yang laki-laki. Para sahabat juga berijma’ bahwa perempuan hanya menjadi imam shalat bagi sesama perempuan saja, seperti yang dilakukan oleh Aisyah dan Ummu Salamah.
4.      Kaidah fiqh
“Hukum asal dalam masalah ibadah adalah tauqif dan ittiba’ (mengikuti petunjuk dan contoh dari Nabi).”
MUI juga memperhatikan serta mengambil pendapat dari para ulama’ dengan mengambil rujukan dari kitab-kitab yang ada. Seperti halnya yang termaktub dalam kitab Al-Umm (Imam Syafi’i), Al-Majmu’ Syarah Al-Muhazzab (Imam Nawawi) dan lain sebagainya.

Berdasarkan dasar-dasar tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal 21 Jumadil Akhir 1426 H yang bertepatan dengan 28 Juli 2005 M menetapkan fatwa bahwa wanita menjadi imam shalat berjamaah yang di antara makmumnya terdapat orang laki-laki hukumnya haram dan tidak sah. Adapun wanita yang menjadi imam shalat berjamaah yang makmumnya wanita, hukumnya mubah."
Didalam kitab Tausyeih ‘ala Ibnu Kosim juga dijelaskan bahwa imam dalam shalat berjamaah adalah laki-laki. Perempuan tidak sah hukumnya menjadi imam shalat bagi laki-laki. Sekalipun kemampuan perempuan itu lebih tinggi dari laki-laki tetap tidak boleh menjadi imam bagi seorang laki-laki, karena akan menghilangkan fadilah shalat.
Jadi kesimpulan yang dapat kita ambil adalah bahwa perempuan hanya boleh menjadi imam shalat bagi sesama perempuan saja, dan perempuan haram dan tidak sah menjadi imam shalat bagi kaum laki-laki.

Jumat, 11 Oktober 2013

TUGAS HK DAGANG: PERBANDINGAN UU PT


PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG
TENTANG
PERSEROAN TERBATAS (PT)

NO
PERIHAL
UU No.7/ 1983
UU No.1/ 1995
UU No. 40/ 2007
1
Ketentuan umum
Pajak Penghasilan dikenakan terhadap orang pribadi atau perseorangan dan
badan berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama
satu tahun pajak.
Didalam UU No.1tidak ditemukan pengertian yang baru seperti tanggung jawab sosial dan lingkungan, Dewan komisaris, Perseroan Publik, Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, Pemisahan, Surat Tercatat, Surat Kabar, Hari
Didalam UU 40 terdapat Pengertian yang baru seperti
Tanggung Jawab sosial dan lingkungan, dewan komisaris,
Perseroan Publik, Penggabungan, Peleburan,
Pengambilalihan, Pemisahan, Surat Tercatat, Surat Kabar, Hari
2
Pendirian, Anggaran Dasar, Pendaftaran dan Pengumuman

Dalam UU No.1 diatur tentang masalah Pendirian, Anggaran Dasar, Pendaftaran dan Pengumuman
Dalam UU No.40 lebih diperluas cangkupanya, yaitu dalam hal Pendirian, Anggaran Dasar dan Perubahan Anggaran Dasar, Daftar Perseroan (Pendaftaran) dan Pengumuman
3
Modal dan  Saham

1.    Modal dasar Perseroan terdiri atas seluruh nilai nominal saham

2.    Modal dasar perseroan paling sedikit Rp. 20.000.000,- (dua puluh juta rupiah)


3.    Pengeluaran saham lebih lanjut setiap kali harus disetor penuh
1.   Modal dasar Perseroan terdiri atas seluruh nilai nominal saham

2.   Modal dasar perseroan paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)

3.   Pengeluaran saham lebih lanjut yang dikeluarkan setiap kali untuk menambah modal yang ditempatkan harus disetor penuh
4
Penambahan Modal

1.    Penambahan modal perseroan hanya dapat dilakukan berdasarkan keputusan RUPS

2.    RUPS dapat menyerahkan kewenangan untuk memberikan persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada Komisaris untuk waktu paling lama 5 (lima) tahun
1.   Penambahan modal perseroan dilakukan berdasarkan persetujuan RUPS
2.   RUPS dapat menyerahkan kewenangan kepada Dewan Komisaris guna menyetujui pelaksanaan keputusan RUPS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun

TUGAS HAM&GENDER PERBANDINGAN UU


TUGAS HAM DAN GENDER
PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG
TENTANG
HAK ASASI MANUSIA DAN GENDER

NO
PERIHAL
UU No.39/ 2009
DUHAM
KONVENSI WANITA
KONVENSI HAK SIPIL
KONVENSI EKOSOSBUD
1
Persamaan HAK
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan perlakuan hukum
yang adil serta mendapat kepastian hukum dalam semangat di depan hukum.
(BAB II Pasal 3 ayat 2)

Semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama. Mereka dikaruniai akal dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu sama lain dalam persaudaraan.
(Pasal 1)


Negara-negara peserta wajib memberi kepada perempuan hak yang sama dengan lakilaki
untuk memperoleh, mengubah atau mempertahankan kewarganegaraannya. Negaranegara
peserta khususnya wajib menjamin bahwa perkawinan dengan orang asing
maupun perubahan kewarganegaraan oleh suami selama perkawinan tidak secara
otomatis mengubah kewarganegaraan isteri, menjadikannya tidak berkewarganegaraan
atau memaksakan kewarganegaraan suaminya kepadanya.
(Bagian II Pasal 9)
Negara Pihak Kovenan ini berjanji untuk menjamin hak-hak yang sederajat dari laki-laki dan perempuan untuk menikmati semua hak sipil dan politik yang diatur dalam Kovenan ini.
(Bagian II Pasal 3)

Negara Pihak pada Kovenan ini berjanji untuk menjamin persamaan bagi laki-laki dan perempuan untuk
menikmati hak-hak ekonomi, sosial dan budaya yang tercantum dalam Kovenan ini.
(Bagian II Pasal 3)