PEREMPUAN SEBAGAI IMAM SHALAT
Perempuan menjadi imam shalat...???
Apakah perempuan bisa menjadi imam shalat bagi kaum laki-laki...???
Ataukah hanya bisa menjadi imam bagi sesama perempuan saja...???
Inilah salah satu hal penting yang menimbulkan perdebatan, terutama
bagi kalangan pejuang kesetaraan gender. Seperti yang telah kita ketahui
bersama, sholat merupakan ibadah wajib bagi umat Islam untuk dilaksanakan dan
termasuk kedalam salah satu bagian dari rukun Islam. Dalam melaksanakan shalat
tentu harus memperhatikan beberapa hal penting guna untuk menjaga sahnya shalat
dan fadilahnya shalat. Perihal sahnya shalat maka haruslah terpenuhi syarat dan
rukun shalat. Sedangkan dalam hal fadilah shalat maka haruslah memperhatikan
beberapa hal, misal shalat dengan berjamaah, shalat dengan khusyu’ dan
tuma’ninah dan lain sebagainya.
Yang juga sangat penting untuk kita cermati bersama adalah masalah
imam dalam shalat berjamaah. Seseorang yang menjadi imam dalam shalat haruslah
orang yang mampu dan mengerti tentang tata cara menjadi imam dalam shalat.
Contoh kecil saja, seorang imam diharuskan bisa membaca ayat-ayat Al-Qur’an
serta bacaan-bacaan dalam shalat dengan benar. Itu adalah kemampuan mendasar
yang harus dimiliki seseorang apabila ingin menjadi imam dalam shalat
berjamaah. Apabila hal tersebut belum terpenuhi maka seseorang itu hendaknya
menjadi makmum saja, karena nanti ditakutkan apabila menjadi imam maka akan
mengurangi keabshahan serta mengurangi fadilah shalat.
Imam dalam shalat berjama’ah lazimnya adalah seorang laki-laki.
Karena laki-laki adalah pemimpin bagi perempuan, yang artinya laki-laki
mempunyai tanggung jawab untuk memimpin perempuan dalam hal kebaikan, salah
satunya dengan menjadi imam shalat bagi perempuan. Firman Allah dalam surat
An-Nisaa’ ayat 34 :
“Kaum laki-laki itu adalah
pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka
(laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita)....” (QS. An-Nisaa’ : 34).
Kontroversi
perihal perempuan bisa menjadi imam shalat, khususnya menjadi imam bagi
laki-laki memang menimbulkan perdebatan. Ada beberapa pihak yang menentang hal
itu, namun ada juga pihak-pihak yang mendukung dibolehkanya perempuan menjadi
imam shalat bagi laki-laki, dengan alasan dan argumentasi bahwa apabila si
laki-laki tidak begitu paham masalah agama, dan apabila si perempuan lebih
pandai, lebih mampu, dan juga lebih berkompeten dari pada laki-laki untuk
menjadi imam, maka hal itu boleh-boleh saja. Perdebatan ini terus bergulir dan
semakin alot. Untuk menjawab kontroversi ini, Majelis Ulama’ Indonesia (MUI) turun
tangan dan mengambil sikap serta menetapkan fatwa terkait dengan masalah
perempuan menjadi imam shalat (bagi kaum laki-laki).
Dalam
Musyawarah Nasional (Munas) MUI VII, pada 19-22 Jumadil Akhir 1426 H/26-29 Juli
2005 M, MUI menetapkan Fatwa Nomor: 9/MUNAS VII/MUI/13/2005 Tentang Wanita
Menjadi Imam Shalat. Hal ini perlu dilakukan untuk menjawab perdebatan tersebut
serta untuk memberikan kepastian hukum dalam syari’at Islam tentang hukum
wanita menjadi imam shalat, agar dapat dijadikan pedoman bagi umat Islam.
Dalam menetapkan fatwanya, MUI mendasarkan pada Al-Qur’an, hadist,
ijma’, dan kaidah-kaidah fiqh.
1.
Firman
Allah SWT dalam surat An-Nisaa’ ayat 34
“Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita)....” (QS. An-Nisaa’
: 34).
2.
Hadist
Rasulullah SAW
"Rasulullah
memerintahkan Ummu Waraqah untuk menjadi imam bagi penghuni rumahnya." (HR
Abu Dawud dan Al-Hakim).
Rasulullah
bersabda, “Janganlah seorang perempuan menjadi imam bagi laki-laki.” (HR
Ibnu Majah).
Rasulullah
bersabda, “(Melaksanakan) shalat yang paling baik bagi perempuan adalah di dalam
kamar rumahnya.” (HR Bukhari).
3.
Ijma’
para ulama’
Para sahabat tidak pernah
ada seorang perempuan yang menjadi imam shalat yang diantara makmumnya ada yang
laki-laki. Para sahabat juga berijma’ bahwa perempuan hanya menjadi imam shalat
bagi sesama perempuan saja, seperti yang dilakukan oleh Aisyah dan Ummu
Salamah.
4.
Kaidah
fiqh
“Hukum asal
dalam masalah ibadah adalah tauqif dan ittiba’
(mengikuti petunjuk dan contoh dari Nabi).”
MUI juga memperhatikan serta
mengambil pendapat dari para ulama’ dengan mengambil rujukan dari kitab-kitab
yang ada. Seperti halnya yang termaktub dalam kitab Al-Umm (Imam Syafi’i),
Al-Majmu’ Syarah Al-Muhazzab (Imam Nawawi) dan lain sebagainya.
Berdasarkan dasar-dasar tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada
tanggal 21 Jumadil Akhir 1426 H yang bertepatan dengan 28 Juli 2005 M
menetapkan fatwa bahwa wanita menjadi imam shalat berjamaah yang di antara
makmumnya terdapat orang laki-laki hukumnya haram dan tidak
sah. Adapun wanita yang menjadi imam shalat berjamaah yang
makmumnya wanita, hukumnya mubah."
Didalam kitab Tausyeih ‘ala Ibnu Kosim juga dijelaskan bahwa
imam dalam shalat berjamaah adalah laki-laki. Perempuan tidak sah hukumnya
menjadi imam shalat bagi laki-laki. Sekalipun kemampuan perempuan itu lebih
tinggi dari laki-laki tetap tidak boleh menjadi imam bagi seorang laki-laki,
karena akan menghilangkan fadilah shalat.
Jadi kesimpulan yang dapat kita
ambil adalah bahwa perempuan hanya boleh menjadi imam shalat bagi sesama
perempuan saja, dan perempuan haram dan tidak sah menjadi imam shalat bagi kaum
laki-laki.